Rumah ini benar-benar luar biasa. Bukan hanya karena usianya yang telah 103 tahun tapi juga karena didirikan di tengah laut. Konon rumah ini telah berdiri sejak 1905, tepatnya di atas bebatuan Rhode Island yang ada di tengah laut. Rumah itu kerap disebut Clingstone.
Rumah ini cukup besar dan tergolong nyaman. Rumah tersebut dibangun oleh JS Lovering Wharton dengan biaya 36.000 dolar , sepupu jauh Henry Wood (79), yang kini menjadi pemiliknya.
Henry Wood membelinya dengan mantan istrinya pada tahun 1961 seharga 3600 dolar AS. Kemudian dia renovasi dan kini menjadi manson yang menarik dan nyaman dan telah didiami selama dua dasawarsa lebih.
Ini memang penemun Wood yang luar biasa.
Bayangkan rumah itu memiliki 23 kamar, dan Wood tetap mempertahankan arsitektur kamar dan settingannya seperti 100 tahun lalu. Setiap tahun, pada hari raya tertentu, Wood dan keluarganya mengundang puluhan teman-temannya untuk berlibur di tempat mereka.
Rumah itu memang sangat besar, karenanya membutuhkan banyak orang untuk bisa membersihkannya. Maklum saja, Wood dan keluarganya tidak setiap hari tinggal di sana. Mereka hanya menggunakan manson itu untuk tempat berlibur. Jadi ketika mereka datang, hal yang pertama harus dilakukan adalah, bekerja keras membuat tempat itu kinclong kembali.
Namun para relawan, teman-teman Wood, tentu saja dengan suka rela membantu membersihkannya. Mereka mengaggap itu kegiatan menarik pengisi liburan. Wood dan keluarga serta teman-temannya hanya datang ke sana ketika musim panas. Biasanya selama sepekan mereka menghabiskan masa libur. Sementara di musim dingin, manson besar itu sunyi dan sepi. Boat mereka tetap aman di simpan di dok terapung dekat James Town Boatyard.
Rumah ini cukup besar dan tergolong nyaman. Rumah tersebut dibangun oleh JS Lovering Wharton dengan biaya 36.000 dolar , sepupu jauh Henry Wood (79), yang kini menjadi pemiliknya.
Henry Wood membelinya dengan mantan istrinya pada tahun 1961 seharga 3600 dolar AS. Kemudian dia renovasi dan kini menjadi manson yang menarik dan nyaman dan telah didiami selama dua dasawarsa lebih.
Ini memang penemun Wood yang luar biasa.
Bayangkan rumah itu memiliki 23 kamar, dan Wood tetap mempertahankan arsitektur kamar dan settingannya seperti 100 tahun lalu. Setiap tahun, pada hari raya tertentu, Wood dan keluarganya mengundang puluhan teman-temannya untuk berlibur di tempat mereka.
Rumah itu memang sangat besar, karenanya membutuhkan banyak orang untuk bisa membersihkannya. Maklum saja, Wood dan keluarganya tidak setiap hari tinggal di sana. Mereka hanya menggunakan manson itu untuk tempat berlibur. Jadi ketika mereka datang, hal yang pertama harus dilakukan adalah, bekerja keras membuat tempat itu kinclong kembali.
Namun para relawan, teman-teman Wood, tentu saja dengan suka rela membantu membersihkannya. Mereka mengaggap itu kegiatan menarik pengisi liburan. Wood dan keluarga serta teman-temannya hanya datang ke sana ketika musim panas. Biasanya selama sepekan mereka menghabiskan masa libur. Sementara di musim dingin, manson besar itu sunyi dan sepi. Boat mereka tetap aman di simpan di dok terapung dekat James Town Boatyard.
Ampun deh.
gak bakal pulang terakhir lagi dari warnet
nyesel senyesel-nyeselnya…!!!
gak bakal pulang terakhir lagi dari warnet
nyesel senyesel-nyeselnya…!!!
Sendal kesayangan dituker jadi kaya gitu
Sebuah supermarket untuk cari jodoh yang dinamai supermarket cinta (Love Supermarket) telah dibuka di China di kawasan Beijing. Dari namanya supermarket cinta pastinya supermarket ini menjual cinta. Supermarket ini diperuntukan bagi siapa saja yang mencari jodoh pasangan hidup baik istri maupun suami jadi diperuntukkan cewek maupun cowok.
Rak-rak besar terbuka yang unik penuh dengan foto-foto dari satu orang dalam mencari pasangan hidup. File-file tersebut dikategorikan sesuai dengan nama, jenis kelamin, usia dan pendapatan, sehingga pelanggan dapat dengan mudah memilih yang mereka cari.
Begitu customer membuat pilihan, setelah dicek kebenaran identitas customer tersebut, staf di supermarket membantu mereka menghubungi orang yang diinginkan tersebut. Semua informasi dari foto-foto yang dipajang di supermarket tersebut dijamin otentik, demikian manuru Zhang Ying, manager supermarket tersebut.
Anda tertarik berbelanja?
Do you like this story?
Di kota Berlin, Jerman, yang sangat multikultur, mencari makanan Asia bukan perkara sulit. Misalnya saja di kawasan Wedding, yang merupakan salah satu kantung daerah imigran yang didominasi berbagai bangsa di Asia.
Toko-toko Turki dan Asia lainnya menjual berbagai bahan makanan sehari-hari yang serupa dengan yang biasa para imigran kenal di kampung halamannya. Ini obat kangen untuk mereka.
Toko Vinh Loi di Seestrasse, adalah toko yang tiap hari ramai kedatangan pembeli. Mereka kebanyakan orang Asia yang mencari cabai keriting, bayam, sampai kacang panjang. Selain itu banyak juga orang Jerman yang gemar berburu makanan Asia.
Tempe pun dijual di toko milik orang Vietnam ini. Namun jangan bayangkan harga tempe semurah di Indonesia. Satu tempe ukuran batu bata 400gr dibandrol 1,79 Euro atau setara Rp 28.319. Harga tempe di Jerman juga nyaris sama dengan sekilo paha ayam yang dibandrol 1,99 Euro.
Wuih, tentu saja beda jauh dengan harga tempe di Indonesia. Namun kalau sudah kangen, tetap dibeli juga.
“Habis mau bagaimana lagi, kangen mau masak kering tempe,” kata Fitriani (27) mahasiswi Indonesia di Berlin.
Impor adalah salah satu faktor kenapa bahan makanan Asia harganya lebih mahal. Namun ternyata, tempe di Jerman tidak diimpor dari Indonesia. Jerman sudah membuat sendiri tempe mereka dengan nama yang sama: Tempe.
Tempe dibuat oleh perusahan lokal Jerman yaitu Natural Vegetarian Food b.v. Rupanya, hari ini bukan batik khas Indonesia saja yang sudah diproduksi oleh perusahaan tekstil lokal di Cina.
Sebanyak 75 jasad korban kecelakaan pesawat Prancis berhasil ditemukan dalam puing-puing pesawat Air France yang jatuh di Perairan Brasil dua tahun lalu.
Penemuan jasad ini memang di luar perkiraan sebelumnya. Tim pencari memperkirakan mereka dapat menemukan setengah dari korban yang ditemukan hari ini.
Pesawat Air France dengan nomor penerbangan 447 jatuh ke Laut Atlantik pada 1 Juni 2009 lalu. Kecelakaan tersebut menyebabkan seluruh penumpang dan kru pesawat yang berjumlah 228 tewas seketika.
Penemuan ini merupakan kelanjutan dari usaha pencarian para korban yang menggunakan bantuan robot. Robot bawah laut tersebut sebelumnya menemukan puing-puing dari pesawat setelah melakukan pencarian selama satu tahun, yang berada di sekitar gunung bawah laut.
Wakil Presiden Assiasiasi Korban Kecelakaan Prancis Robert Soulas mengatakan, pihaknya mendapatkan informasi ini dari pemerintah. Namun dirinya lebih menghendaki jasad para korban kecelakaan tetap berada di bawah laut.
"Secara pribadi saya lebih suka meninggalkan jasad para korban di bawah laut," ucap Soulas seperti dikutip CNN.
Hingga kini belum dapat diketahui identitas dari 75 korban kecelakaan tersebut. Pada saat kecelakaan terjadi, hanya 50 jasad yang berhasil ditemukan saat itu.
Penemuan jasad ini memang di luar perkiraan sebelumnya. Tim pencari memperkirakan mereka dapat menemukan setengah dari korban yang ditemukan hari ini.
puing-puing pesawat air france di dasar laut
Pesawat Air France dengan nomor penerbangan 447 jatuh ke Laut Atlantik pada 1 Juni 2009 lalu. Kecelakaan tersebut menyebabkan seluruh penumpang dan kru pesawat yang berjumlah 228 tewas seketika.
Penemuan ini merupakan kelanjutan dari usaha pencarian para korban yang menggunakan bantuan robot. Robot bawah laut tersebut sebelumnya menemukan puing-puing dari pesawat setelah melakukan pencarian selama satu tahun, yang berada di sekitar gunung bawah laut.
Wakil Presiden Assiasiasi Korban Kecelakaan Prancis Robert Soulas mengatakan, pihaknya mendapatkan informasi ini dari pemerintah. Namun dirinya lebih menghendaki jasad para korban kecelakaan tetap berada di bawah laut.
"Secara pribadi saya lebih suka meninggalkan jasad para korban di bawah laut," ucap Soulas seperti dikutip CNN.
Hingga kini belum dapat diketahui identitas dari 75 korban kecelakaan tersebut. Pada saat kecelakaan terjadi, hanya 50 jasad yang berhasil ditemukan saat itu.
Semangat anak-anak di pedalaman Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam menimba ilmu patut ditiru. Untuk mencapai ke sekolah saja, mereka harus menempuh jarak berkilo meter.
Bahkan di tengah perjalanan, mereka harus rela menanggalkan pakaian untuk masuk ke sungai dan melawan derasnya arus.
Potret keteguhan dan semangat anak-anak ini dapat dilihat setiap hari di Kelurahan Maulumbi, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur.
Saat pagi menjelang, para ibu di Kampung Pada Karambua mempersipakan anak mereka yang akan berangkat ke taman kanak-kanak dan sekolah dasar.
Hanya beralaskan sandal jepit, bahkan tidak sedikit yang tak beralas telapak kaki, sama sekali tidak menyurutkan anak-anak itu pergi ke sekolah.
Saat tiba di mulut sungai, anak-anak harus melepas pakaian dan menjunjung buku serta tasnya untuk menyeberangi sungai yang lebar dan dalam. Mereka harus mempertahankan tubuh agar tidak terbawa arus yang cukup kuat.
Jika air pasang, orangtua harus menemani mereka menyeberang. Menyebrangi sungai merupakan satu-satunya jalan untuk pergi ke sekolah.
Stefanus, warga Kampung Pada Karumba, menuturkan jika sungai meluap karena curah hujan tinggi, tak ada jalan lagi. Anak-anak terpaksa tidak bersekolah.
Ada pula yang menggunakan satu-satunya sampan kecil milik salah seorang warga, namun daya angkutnya terbatas. Jika harus antre menggunakan sampan kecil anak-anak tentu akan terlambat.
Keprihatinan ternyata tak hanya sampai di sini, setiap pergi dan pulang ke sekolah, kekhawatiran akan ancaman buaya senantiasa menghantui para orangtua.
Amros dan Wulan, anak sekolah warga Kapung Pada Karumba, mengatakan sebelumnya pernah temannya dan warga yang tewas diterkam buaya.
Warga berharap ada perhatian dari pemerintah setempat agar anak-anak mereka bisa pergi ke sekolah tidak dengan kondisi membahayakan. Jembatan atau ketersediaan perahu penyeberangan, tentu akan sangat membantu warga. Sehingga anak-anak perlu merasa nyaman dan aman menimba ilmu.Semangat anak-anak di pedalaman Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam menimba ilmu patut ditiru. Untuk mencapai ke sekolah saja, mereka harus menempuh jarak berkilo meter.
Bahkan di tengah perjalanan, mereka harus rela menanggalkan pakaian untuk masuk ke sungai dan melawan derasnya arus.
Potret keteguhan dan semangat anak-anak ini dapat dilihat setiap hari di Kelurahan Maulumbi, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur.
Anak-anak Kampung Pada Karamua menerabas sungai untuk ke sekolah.
Saat pagi menjelang, para ibu di Kampung Pada Karambua mempersipakan anak mereka yang akan berangkat ke taman kanak-kanak dan sekolah dasar.
Hanya beralaskan sandal jepit, bahkan tidak sedikit yang tak beralas telapak kaki, sama sekali tidak menyurutkan anak-anak itu pergi ke sekolah.
Saat tiba di mulut sungai, anak-anak harus melepas pakaian dan menjunjung buku serta tasnya untuk menyeberangi sungai yang lebar dan dalam. Mereka harus mempertahankan tubuh agar tidak terbawa arus yang cukup kuat.
Jika air pasang, orangtua harus menemani mereka menyeberang. Menyebrangi sungai merupakan satu-satunya jalan untuk pergi ke sekolah.
Stefanus, warga Kampung Pada Karumba, menuturkan jika sungai meluap karena curah hujan tinggi, tak ada jalan lagi. Anak-anak terpaksa tidak bersekolah.
Ada pula yang menggunakan satu-satunya sampan kecil milik salah seorang warga, namun daya angkutnya terbatas. Jika harus antre menggunakan sampan kecil anak-anak tentu akan terlambat.
Keprihatinan ternyata tak hanya sampai di sini, setiap pergi dan pulang ke sekolah, kekhawatiran akan ancaman buaya senantiasa menghantui para orangtua.
Amros dan Wulan, anak sekolah warga Kapung Pada Karumba, mengatakan sebelumnya pernah temannya dan warga yang tewas diterkam buaya.
Warga berharap ada perhatian dari pemerintah setempat agar anak-anak mereka bisa pergi ke sekolah tidak dengan kondisi membahayakan. Jembatan atau ketersediaan perahu penyeberangan, tentu akan sangat membantu warga. Sehingga anak-anak perlu merasa nyaman dan aman menimba ilmu.
Bahkan di tengah perjalanan, mereka harus rela menanggalkan pakaian untuk masuk ke sungai dan melawan derasnya arus.
Potret keteguhan dan semangat anak-anak ini dapat dilihat setiap hari di Kelurahan Maulumbi, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur.
Anak-anak Kampung Pada Karamua menerabas sungai untuk ke sekolah.
Saat pagi menjelang, para ibu di Kampung Pada Karambua mempersipakan anak mereka yang akan berangkat ke taman kanak-kanak dan sekolah dasar.
Hanya beralaskan sandal jepit, bahkan tidak sedikit yang tak beralas telapak kaki, sama sekali tidak menyurutkan anak-anak itu pergi ke sekolah.
Saat tiba di mulut sungai, anak-anak harus melepas pakaian dan menjunjung buku serta tasnya untuk menyeberangi sungai yang lebar dan dalam. Mereka harus mempertahankan tubuh agar tidak terbawa arus yang cukup kuat.
Jika air pasang, orangtua harus menemani mereka menyeberang. Menyebrangi sungai merupakan satu-satunya jalan untuk pergi ke sekolah.
Stefanus, warga Kampung Pada Karumba, menuturkan jika sungai meluap karena curah hujan tinggi, tak ada jalan lagi. Anak-anak terpaksa tidak bersekolah.
Ada pula yang menggunakan satu-satunya sampan kecil milik salah seorang warga, namun daya angkutnya terbatas. Jika harus antre menggunakan sampan kecil anak-anak tentu akan terlambat.
Keprihatinan ternyata tak hanya sampai di sini, setiap pergi dan pulang ke sekolah, kekhawatiran akan ancaman buaya senantiasa menghantui para orangtua.
Amros dan Wulan, anak sekolah warga Kapung Pada Karumba, mengatakan sebelumnya pernah temannya dan warga yang tewas diterkam buaya.
Warga berharap ada perhatian dari pemerintah setempat agar anak-anak mereka bisa pergi ke sekolah tidak dengan kondisi membahayakan. Jembatan atau ketersediaan perahu penyeberangan, tentu akan sangat membantu warga. Sehingga anak-anak perlu merasa nyaman dan aman menimba ilmu.Semangat anak-anak di pedalaman Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam menimba ilmu patut ditiru. Untuk mencapai ke sekolah saja, mereka harus menempuh jarak berkilo meter.
Bahkan di tengah perjalanan, mereka harus rela menanggalkan pakaian untuk masuk ke sungai dan melawan derasnya arus.
Potret keteguhan dan semangat anak-anak ini dapat dilihat setiap hari di Kelurahan Maulumbi, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur.
Anak-anak Kampung Pada Karamua menerabas sungai untuk ke sekolah.
Saat pagi menjelang, para ibu di Kampung Pada Karambua mempersipakan anak mereka yang akan berangkat ke taman kanak-kanak dan sekolah dasar.
Hanya beralaskan sandal jepit, bahkan tidak sedikit yang tak beralas telapak kaki, sama sekali tidak menyurutkan anak-anak itu pergi ke sekolah.
Saat tiba di mulut sungai, anak-anak harus melepas pakaian dan menjunjung buku serta tasnya untuk menyeberangi sungai yang lebar dan dalam. Mereka harus mempertahankan tubuh agar tidak terbawa arus yang cukup kuat.
Jika air pasang, orangtua harus menemani mereka menyeberang. Menyebrangi sungai merupakan satu-satunya jalan untuk pergi ke sekolah.
Stefanus, warga Kampung Pada Karumba, menuturkan jika sungai meluap karena curah hujan tinggi, tak ada jalan lagi. Anak-anak terpaksa tidak bersekolah.
Ada pula yang menggunakan satu-satunya sampan kecil milik salah seorang warga, namun daya angkutnya terbatas. Jika harus antre menggunakan sampan kecil anak-anak tentu akan terlambat.
Keprihatinan ternyata tak hanya sampai di sini, setiap pergi dan pulang ke sekolah, kekhawatiran akan ancaman buaya senantiasa menghantui para orangtua.
Amros dan Wulan, anak sekolah warga Kapung Pada Karumba, mengatakan sebelumnya pernah temannya dan warga yang tewas diterkam buaya.
Warga berharap ada perhatian dari pemerintah setempat agar anak-anak mereka bisa pergi ke sekolah tidak dengan kondisi membahayakan. Jembatan atau ketersediaan perahu penyeberangan, tentu akan sangat membantu warga. Sehingga anak-anak perlu merasa nyaman dan aman menimba ilmu.